Entri Populer

Jumat, 18 Maret 2011

Pembatal-Pembatal Wudhu (1)

Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma‘ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.

Pembatal wudhu yang disepakati

1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2. Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…(Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi’ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi’?” Abu Rafi’ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi’ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi’, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah rahimahullahu, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
Sekalipun ia tidak keluar mani.
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.

Pembatal wudhu yang diperselisihkan

Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan.
Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma’ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi’iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis).
Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi’atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
Atau kalian menyentuh wanita … (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima‘ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima‘ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini) adalah jima‘, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima‘) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima‘) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi’i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234).
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
  1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
  2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar’i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/membatalkannya) kecuali dengan dalil syar’i.
  3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
  4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi’il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi’il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi’in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij -yang mereka itu adalah para tokoh penghapal- meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha‘if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Footnote:
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.(Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
(Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=237)

Selasa, 01 Maret 2011

Sifat Shalat Rasulullah SAW

Diringkas dari kitab Shifatus Shalatin Nabi saw. oleh Syaikh al-Albani. Rasulullah saw. apabila berdiri hendak mengerjakan shalat beliau menghadap Ka'bah berdiri dekat sutrah (sutrah ialah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas yang berada di depan orang yang sedang shalat, seperti dinding masjid, tiang dan seterusnya) dan beliau pernah bersabda, "Sesungguhnya segala amal hanya bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya."
Kemudian Rasulullah memulai shalatnya dengan ucapan "ALLAHU AKBAR" sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan diletakkannya pada dadanya, kemudian mengarahkan pandangan matanya ke lantai. Kemudian memulai bacaannya dengan do'a iftitah (do'a iftitah banyak macamnya). Dalam do'a ini beliau memuji, mengagungkan dan menyanjung Allah. Kemudian membaca ta'awudz, berlindung kepada Allah dan godaan syaitan yang terkutuk. Kemudian membaca BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM dengan lirih (tidak mengeraskan), lalu membaca surah al Fatihah, ayat demi ayat. Kemudia apabila selesai membaca al-Fatihah Rasulullah mengucapkan AAAMIIN dengan suara lantang dan panjang. Setelah itu membaca surah yang lain, kadang-kadang Rasulullah membaca surat yang panjang dan kadang-kadang surah yang pendek.  Rasulullah saw. mengeraskan bacaan ayat pada waktu shalat shubuh, dua rakaat pertama shalat maghrib dan isya'; dan beliau membaca ayat al-Qur'an dengan lirih (tidak mengeraskan suaranya) waktu shalat zhuhur, ashar, raka'at tiga dan shalat maghrib dan dua raka'at terakhir dan shalat isya.
Beliau juga mengeraskan bacaan ayat al-Qur'an pada shalat jum'ah, Idul Fitri, Idhul Adha, istisqa (shalat minta hujan), dan shalat gerhana.
Nabi menjadikan dua raka'at terakhir lebih pendek daripada dua raka'at pertama, kira-kira separuhnya, atau kira-kira membaca lima belas ayat, atau kadang-kadang pada dua raka'at terakhir tersebut hanya membaca surat Al-Fatihah saja.
Kemudian apabila selesai membaca surah selain al-Fatihah, Rasulullah saw. melakukan saktah (diam sejenak) lalu mengangkat kedua tangannya, bertakbir dan kemudian ruku'. Ketika ruku' Rasulullah meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya dengan merenggangkan jari-jari dan menekankan kedua tangannya pada kedua lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua lututnya.
Rasulullah merenggangkan kedua sikunya dan kedua lambungnya, dan meluruskan tulang punggungnya dan meratakannya hingga andaikata dituangkan air di atasnya, niscaya air tersebut tidak jatuh dan punggungnya.
Beliau ruku' dengan tuma'ninah sambil membaca "SUBHAANA RABBIYAL AZHIIMI," 3x. dan kadang-kadang beliau membaca dzikir yang lain. Pada waktu ruku' dan sujud dilarang oleh beliau mernbaca ayat al Qur'an.
Kemudian Nabi mengangkat tulang shulbinya (punggungnya) dan ruku' sambil mengucapkan "SAMI ALLAAHU LIMAN HAMIDAH" (artinya semoga Allah mendengar bagi orang yang memujinya) beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdiri i'tidal dan mengucapkan RABBANAA WALAKAL HAMDU," (artinya : Ya Rabb kami, segala puji hanya milik-Mu) dan terkadang Beliau membaca lebih sempurna daripada bacaan ini.
Setelah itu, beliau bertakbir sambil turun untuk sujud, dan meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Rasulullah bertumpu pada kedua telapak tangannya yang terbuka dan merapatkan jari-jarinya serta diarahkan ke arah Kiblat. Beliau menempatkan kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya dan kadang-kadang sejajar dengan kedua telinganya. Beliau menekankan hidung dan dahinya pada lantai dan Rasulullah saw. bersabda,  "Aku diperintah sujud di atas tujuh tulang: di atas dahi dan beliau menunjuk dengan tangannya pada hidungnya, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung jari kedua kaki."
Dalam haditsnya yang lain. Nabi saw. bersabda, "Sama sekali tiada shalat bagi orang (yang shalatnya) tidak menempelkan hidungnya pada lantai sebagaimana ia menempelkan keningnya."
Beliau sujud dengan tunia'ninah sambil mengucapkan "SUBHAANA RABBIYAL A'LAA' 3x. Dan kadang-kadang beliau membaca do'a dan dzikir yang lain. Nabi menyuruh kita bersungguh-sungguh dan serius memperbanyak do'a dalam sujud (setelah selesai membaca do'a dan dzikir sujud, pent.)
Kemudian Nabi saw. mengangkat kepalanya sambil bertakbir, lalu duduk iftirasyi, yaitu duduk di atas kaki kiri dengan tuma'ninah, sedangkan (telapak) kakinya yang kanan ditegakkan dan jari-jemarinya dihadapkan ke arah Kiblat. Dalam duduk di antara dua sujud ini beliau mengucapkan, "ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII, WAJBURNII WARFA'NII, WAHDINII, WA'AAFINII WARZUQNII (Ya Allah ampunilah (dosa dosaku) dan rahmatilah aku, cukupilah aku dan tinggikanlah (derajat)ku, tunjukilah aku, berilah aku kesehatan, dan berilah aku rizki." Setelah itu, Beliau bertakbir dan sujud kedua seperti pertama. 
Selesai sujud kedua, Rasulullah saw. mengangkat kepalanya untuk duduk dengan sempurna di atas kaki kirinya (duduk istirahat) hingga masing-masing kembali ke tempatnya masing-masing, kemudian bangkit dengan bertekan pada lantai untuk masuk kepada raka'at kedua. 
Pada raka'at kedua ini, Nabi mengerjakan seperti yang dikerjakan pada raka'at pertama, namun raka'at kedua ini dijadikan lebih pendek dan raka'at pertama.
Kemudian Rasulullah setelah selesai dan raka'at kedua, duduk untuk tasyahhud. Manakala shalat yang beliau kerjakan shalat yang dua raka'at, maka beliau duduk iftirasy, seperti duduk di antara dua sujud. Demikian pu!a cara duduk beliau pada tasyahhud awal pada shalat yang tiga raka'at dan yang empat raka'at. Apabila duduk tasyahhud beliau meletakkan telapak tangan yang kanan di atas pahanya yang kanan dan telapak tangan yang kiri di atas pahanya yang kiri. Beliau menghamparkan tangannya yang kiri dan menggenggam yang kanan, lalu berisyarat dengan jari telunjuk yang kanan dan mengarahkan pandangan matanya kepadanya dan menggerak gerakkan jari telunjuknya sambil berdo'a. Dan Beliau pemah bersabda, "Ia, jari telunjuk benar-benar lebih keras bagi syaitan dan pada besi."
Kemudian Rasulullah pada setiap dua raka'at mengucapkan tahhiyat, kemudian membaca shalawat atas dirinya sendiri, baik pada tasyahhud awal maupun tasyahhud akhir. Shalawat ini disyari'atkannya juga kepada umatnya. Setelah itu, beliau membaca doa-doa yang bermacam-macam.
Kemudian, usai memanjatkan doa-doa, Rasulullah mengucapkan ASSALAAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAAHI" sambil menoleh sebelah kanannya dan begitu juga ke sebelah kirinya. Dan terkadang pada ucapan salam pertama ditambah dengan WA BARAKAATUH.  

1.   Rukun-Rukun Shalat
Ibadah shalat memiliki fardhu-fardhu dan rukun-rukun shalat, yang keduanya terwujudlah hakikat shalat, sehingga manakala satu fardhu darinya tidak terlaksana, maka hakikat shalat tidak terealisasi dan shalat tersebut tidak sah menurut syara'. Dan berikut ini adalah rukun-rukunnya: 
1.   Takbiratul ihram, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbiratul ihram, dan penghalalnya adalah ucapan salam." (Hasan Shaih: Shahih Ibnu Majah I:101 no:275).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada orang yang tidak beres shalatnya, "Apabila kamu berdiri hendak shalat, maka bertakbirlah!" (Muttafaqun'alaih: Fathul Bari XI:36 no:6251 dan Muslim I:298 no:397).
2.   Qiyam berdiri dalam shalat fardhu, bila mampu. Allah berfirman, "Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'!" (QS. al Baqarah: 238)
Rasulullah saw. biasa shalat dengan berdiri, dan hal ini beliau perintahkan kepada Imran bin Hushain. Beliau bersabda kepadanya, "Shalatlah dengan berdiri, kemudian jika kamu tidak mampu, maka dengan duduk, lalu jika kamu tidak mampu (lagi), maka dengan berbaring!" (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 3778, Fathul Bari II: 587 no:1117, ‘Aunul Ma'bud III: 233 no: 939 dan Tirmidzi I: 231 no: 369). 
3.   Membaca surah al-Fatihah pada setiap raka'at:
Dari Ubaidah bin ash-Shamit bahwa Nabi saw. bersabda, "Sama sekali tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 236 no: 756, Muslim I: 295 no: 394, Tirmidzi I: 156 no: 247, Nasa'i II: 137, Ibnu Majah I: 273 no: 837, ‘Aunul Ma'bud III: 42 no: 807 dengan tambahan "Dan seterusnya," tidak lebih sedang yang lainnya tidak meriwayatkan tambahan tersebut).
Rasulullah telah memerintah orang yang shalatnya tidak beres agar membaca al-Fatihah, lalu beliau bersabda, "Kemudian kerjakanlah itu pada seluruh shalatmu!" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 36 no: 6251 dan Muslim I: 298 no: 397)
4. dan 5. Ruku' dan Thuma'ninah padanya, Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman ruku'lah kamu dan sujudlah" (Al Hajj: 77)
Dan sabda Nabi saw. kepada orang yang shalatnya kurang tepat, "Kemudian ruku'lah sampai sempurna (thumakninah dalam) ruku'mu!" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 36 no: 2561 dan Muslim I: 298 no: 97).
6. dan 7. Berdiri I'tidal dengan Thuma'ninah setelah ruku': 
Dari Abi Mas'ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tidak sempurna shalat yang pelaksanaannya tidak meluruskan tulang shulbinya ketika ruku' dan sujud." (Shahih Ibnu Majah no:710, Nasa'i II:183, Tirmidzi I:165 no:264 dan Ibnu Majah I:282 no:870 dan ‘Aunul Ma'bud III:93 no:840).
Dan kepada orang yang shalatnya tidak benar, Nabi saw. bersabda, "Kemudian angkatlah (kepalamu) hingga berdiri tegak lurus." (Muttafaqun'alaih: Fathul Bari XI: 36 no:6251 dan Muslim I:298 no:397).
8. dan 9 sujud dan Tuma'ninah padanya, Allah berfirman, "Hai orang-orang beriman, ruku'lah kamu dan sujudlah kamu." (Al-Hajj:77)
Dan sabda Nabi saw. kepada orang yang shalat dengan sembarangan,  "Kemudian sujudlah hingga tenang kemudian angkatlah (kepalamu) hingga duduk (di antara dua sujud) dengan tenang kemudian sujudlah (lagi) sampai sujud dengan tenang." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 36 no: 6251 dan Muslim I: 298 no: 397).
10. dan 11. Duduk di antara dua sujud dan Thuma'ninah padanya Rasulullah saw. bersabda, "Tidak sempurna shalat yang pelaksanaannya tidak meluruskan tulang shulbinya ketika ruku' dan sujud." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 710, Nasa'i II: 183, Tirmidzi I: 165 no: 264, ‘Aunul Ma'bud III: 93 no: 840 dan Ibnu Majah I: 282 no: 870)
Di samping itu, ada perintah Nabi kepada seorang sahabat yang shalat tidak benar, agar sujud dengan sempuma, sebagaimana yang telah dimuat pada masalah sujud dan Thuma'ninah. 
12. Tasyahhud akhir:
Dari Ibnu Mas'ud r.a. ia berkata, "kami biasa mengucapkan sebelum difardhukan tasyahud atas kami den gan ucapan ASSALAMU ALALLAAH, ASSALAAMU ALAA JIBRIILA WA MIIKAA-IIL (Mudah-rnudahan kesejahteraan tenlimpahkan kepada Allah, mudah-mudahan kesejahteraan dicurahkan kepada (malaikat) Jibnil dan Mikail)." Maka kemudian Rasulullah bersabda, "Janganlah kamu rnengucapkan seperti ini, namun ucapkanlah "ATTAHIYYAATU LILLAAHI..." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 319, Nasa'i III: 40, Daruquthni I: 350 no: 4 dan Baihaqi II: 138
(Ilmu yang perlu diketahui): redaksi yang paling shahih ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud:
Dari Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Rasulullah mengajarku tasyahhud sedang kedua telapak tanganku berada di antara kedua telapak tangannya, sebagaimana mengajarku surah al-Qur'an. (Beliau berkata) ATTA HIYYATU LILLAAHI, WASHSHALAWAATU WATHTHAY YIBAAT ASSALAAMU ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAH MATULLAHI WABARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUH (Segala ucapan penghormatan, segala shalawat (do'a dan kekhusyuan) segala ucapan baik, hanya untuk Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan kepadamu, hai Nabi! Dan (juga) rahmat Allah karunia-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan pula kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan (yang patut diibadahi) kecuali Allah, dan aku bersaksi (juga) bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 56 no: 6265 dan Muslim I: 301 no: 402)
Kesimpulan: Tentang "ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH", dalam Fathul Bari II: 324 Al-Hafizh Ibnu Hajar menulis sebagai berikut:
Dalam sebagian sanad yang bersumber dan hadits Ibnu Mas'ud ini, ada riwayat yang membedakan antara tahiyyat yang diucapkan pada zaman Nabi saw. dengan lafadz Khithab ‘kedua tunggal' yaitu "ASSALAAMU ‘ALAIKA' dengan tahiyyat yang diucapkan sesudah beliau wafat dengan memakai lafadz ghaibiyah ‘ketiga tunggal' yaitu "ASSALAMU ‘ALAN NABIYY".
Dalam kitab adzan lihat Fathul Bari II:312 (pent) (Bab Tasyahhud Akhir) dalam Shahth Bukhari, melalui jalur Abu Ma'rnar dan Ibnu Mas'ud, setelah menampilkan hadits tentang tasyahhud, berkata:Yaitu ketika beliau masih berada di tengah-tengah kami. Kemudian tatkala beliau wafat, maka kami mengucapkan "ASSALAAMU' ya'ni ‘ALAN NABIYY" 
Demikian yang termaktub dalam Shahihul Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Abu Awanah dalam shahihnya, As-Siraj, Al-Jauzafi, Abu Nu'aim al-Ashbahani, dan Baihaqi dan banyak sanad sampai ke Abu Nu'aim, guru Imam Bukhari. Di dalamnya ada kalimat, "Tatkala Beliau telah meninggal dunia, maka kami (para sahahat) mengucapkan, ‘ASSALAAMU ALAN NABIYY' tanpa kata ya'ni.
Demikian pula yang diriwayatkan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Nu'aim.
Imam as-Subki dalam kitab Syarhul Minhaj, setelah menyebutkan riwayat ini dan Abu Awanah saja, menegaskan "Jika ini shahih dan para sahabat, maka menunjukkan bahwa pasca wafatnya Nabi saw. tidak wajib memakai redaksi "ASSALAAMU ‘ALAIKA namun sah juga dengan redaksi "ASSALAAMU ‘ALANNABIY'IY'
Menurut hemat saya (al-Hafizh Ibnu Hajar), hal ini sah tanpa diragukan lagi dan saya sudah mendapati riwayat lain yang mengatakan riwayat Abu ‘Awanah itu, dimana Abdur Razzaq menyatakan, telah menyampaikan kepadaku Ibnu Juraij dan Atha, ia berkata bahwasanya para sahabat di kala Nabi masih hidup mengucapkan ‘ASSALAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY kemudian tatkala beliau meninggal dunia, mereka mengucapkan ASSALAMU ALAN NABIYY" kemudian tatkala Beliau meninggal dunia, mereka mengucapkan ‘ASSALAMU' ALAN NABIYY.'' Sanad riwayat ini shahih" Selesai.
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shifatus Shalah hal 126 mengatakan: "Dalam masalah mi pasti ada ketetapan dan Nabi . Riwayat di atas diperkuat oleh riwayat Aisyah yang mengajani para sahabat tasyahhud dalarn shalat. Ia berkata, ASSALAAMU ‘ALAN NABIYY" Diriwayatkan oleh as-Siraj dalam musnadnya II: 1 no: 9 dan al-Mukhlash dalam kitab al-Fawa-id I: 54 no: 11. Kedua sanad ini shahih dan Aisyah " Selesai. 
13. Mengucapkan shalawat kepada Nabi sesudah tasyahhud akhir:
Dari Fudhalah bin Ubaid al-Anshari bahwa Rasulullah saw. pernah melihat seorang sahabat shalat, tanpa memuji Allah, tanpa mengagungkannya dan tidak bershalawat kepada Nabi , lalu keluar, Kemudian Rasulullah bersabda, "Orang itu tergesa-gesa." Kemudian beliau memanggilnya, lalu bersabda kepadanya dan kepada yang lain (juga), "Apabila salah seorang antara kamu shalat, maka mulailah dengan mengagungkan Rabbnya menyanjung-Nya dan bershalawatlah kepada Nabi, lalu berdo'alah sesual dengan keinginannya." (Shahihul Isnad: Shifatush Shalat hal 182 terbitan Maktabatul Ma'rifat, Tirmidzi V: 180 no: 3546 ‘Aunul Ma'bud IV: 354 1468).
Dari Abu Mas'ud r.a., ía berkata "Telah datang seorang sahabat sampai duduk di hadapan Rasulullah sedangkan kami berada di dekat beliau, lalu ía berujar, "Ya Rasulullah, adapun tentang memberi salam kepadamu, kami sudah mengerti, kemudian bagaimana cara kami bershalawat kepadamu, bila kami ingin bershalawat kepadamu dalam shalat-shalat kami, mudah mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu?" Maka kemudian beliau diam sampai menginginkan kiranya sahabat itu tidak bertanya kepada beliau (tentang masalah ini), kemudian beliau bersabda ‘Apabila kamu hendak bershalawat kepadaku, maka ucapakanlah ‘ALLAAHUMMA SHALLII AMA MUHAM-MADININ NABIYYIL UMMIY WA ALAA AALI MUHAMMAD..." (Hasan: Shahih lbnu Khuzaimah I: 351-352 no: 711)
Sesuatu yang perlu diketahui: Bahwa redaksi shalawat yang paling afdhal ialah yang diriwayatkan Dari Ka'ab bin ‘Ujrah , ia berkata, bahwa kami pernah bertanya: "Ya Rasulullah, sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara mengucapkan shalawat (kepadamu)? Maka jawab Beliau, "Ucapkanlah ‘ALLAAHUMMA SHALLI ALAA MUHAMMAD WA ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA ALAA IBRAHIM WA ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIDUM MAJID. ALLAAHUMMA BAARIK ALAA MUHAMMAD WA ALAA AALI MUHAMMAD KAMA BAARAKTA ALAA IBRAHIM WA ALAA MUHAMMAD KAMA BAARAKTA ALAA IBRAHIM WA ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIDUM MAJID (YA Allah limpahkanlah rahmat (Mu) kepada (Nabi) Muhammad dan kepada keluarganya sebagaimana engkau mencurahkan rahmat(Mu) kepada (Nabi) Ibrahim dan keluarganya karena sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah barakah kepada (Nabi) Muhammad dan kepada keluarganya. Sebagaimana Engkau telah melimpahkan barakah (Mu) kepada keluarganya. Karena sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Mulia..." (Muttafaqun ‘alalih Fathul Bari XI:152 no:6357, Muslim I:305 no: 406, ‘Aunul Ma'bud III: 264 no:963, Tirmidzi I:301 no:482, Ibnu Majah I:904 no:293 dan Nasa'i III:47). 
14. Mengucapkan salam berdasarkan sabda Nabi saw., "Kunci shalat adalah bersuci dan pengharamnya adalah takbiratul ihram serta penghalalnya adalah ucapan salam." (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no:222, Tirmidzi I:5 no:3 ‘Aunul Ma'bud I:88 no:61, dan Ibnu Majah I:1011 no:275).  

2.   Kewajiban-Kewajiban Dalam Shalat
1.   Mengucapkan takbiratul ihram takbir perpindahan dari gerakan ke gerakan berikutnya dan mengucapkan "SAMI ALLAHULIMAN HAMIDAH, RABBANAA LAKAL HAMMDU"
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila berdiri akan shalat, bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika akan ruku', kemudian mengucapkan SAMI ‘ALLAHU LIMAN HAMIDAH" ketika mengangkat tulang punggun gaya dan ruku', kemudian mengucapkan ketika telah berdiri, RABBANA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, segala puji hanya untuk-Mu) atau RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, segala puji hanya untuk-Mu). Kemudian bertakbir ketika turun (akan sujud) kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (dan sujud pertama), lalu! ketika akan sujud (kedua), kemudian bertakbir ketika mengangkat "kepalanya (dan sujud kedua), kemudian beliau melakukan seperti itu dalam shalat seluruhnya sampai selesai, dan bertakbir ketika akan bangun dan dua raka'at (pertama) setelah duduk (tasyahhud awwal) (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 272 no: 289, Muslim I: 293 no: 28 dan 392 dan Nasa'i II: 233)
Dalam haditsnya yang lain, Rasulullah bersabda, "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat!" (Shahih: Irwaul Ghalil 262 dan Fathul Bari II: 111 no: 631).
Masalah ini pernah Rasulullah perintahkan kepada seorang sahabat yang shalatnya tidak benar dengan sabdanya, "Sesungguhnya shalat dari seseorang dari kalangan umat manusia tidak akan sempurna sebelum berwudhu' dengan sempurna, kemudian mengucapkan takbiratul ihram, lalu memuji Allah dan menyanjungnya (yaitu do'a iftitah) dan (lantas) membaca ayat ayat Al Qur'an yang mudah baginya, kemudian mengucapkan ALLAHU AKBAR, lalu ruku sampai persendiannya tenang, lalu mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH sampai berdiri dengan sempurna, lalu mengucapkan ALLAHU AKBAR, lalu  sujud sampai persendiannya tenang, kemudian mengucapkan ALLAHU AKBAR sambil mengangkat kepalanya (dari sujud pertama) kemudian mengucapkan ALLAHU AKBAR, lalu sujud (lagi) hingga persendiannya tenang, kemudian mengangkat kepalanya (dari sujud terakhir) sambil bertakbir. Maka apabila dia mengerjakan seperti itu, maka sempurnalah shalatnya." (Shahih: Shahih Abu Daud no:763 ‘Aunul Ma'bud III 99 100 no:842).
2.   Tasyahuhud awal:
Dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila kamu duduk pada setiap dua rakaat, maka ucapkanlah, ATTAHIYYAATU LILLAAHI, WASHSHALAWAATU WATHTHAYYIBAT ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMA. TULLAAHI WABARA-KAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIN, ASYHADU ALLAA ILAA HA ILLALLAAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUH Kemudian hendaklah kamu memilih do'a yang paling disenangi, lalu panjatkanlah kepada Rabbnya." (Shahih: Irwa-ul GhaIiI no: 336 dan Nasa'i II: 238)
Dzikir ini sudah pernah diterjemahkan pada halaman sebelumnya (pent.)
Nabi pernah memerintahkan seorang sahabat yang tidak beres shalatnya agar membaca do'a tasyahhud dengan sabdanya, "Maka apabila engkau duduk pada pertengahan shalat (yaitu akhir raka'at kedua), maka duduk iftirasylah duduk dengan bertekan pada pahamu yang kiri dengan tenang kemudian bacalah tasyahhud!" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 766, ‘Aunul Ma'bud III: 102 no: 845).
3.   Seorang yang akan shalat harus meletakkan sutrah (pembatas) di hadapannya agar orang tidak berjalan di hadapannya dan untuk menahan penglihatan agar tidak melebihi sutrah (pembatas):
Dari Sahl bin Abi Hatsmah r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, "Apabila seorang di antara kamu shalat, maka shalatlah menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya maka syaitan tidak akan bisa membatalkan (mengganggu khusyu'nya) shalatnya." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 722, Mustadrak Hakim I: 251 dan lafad ini baginya, ‘Aunul Ma'bud II: 388 no: 681, Nasa'i II: 62 dengan lafadz, IDZAA SHALLAA AHADUKUM ILAA SUTRAH (Apabila seorang di antara kamu shalat menghadap sutrah...)"
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu shalat, kecuali di depannya ada sutrah dan jangan kamu biarkan seseorang pun berlalu di hadapmu; jika ia membangkang, maka pukullah karena sesunggungnya bersamanya adalah teman (syaitan)." (Shahih: Shifatush Shalah hal 62 dan Shahih lbnu Khuzaimah II: 9 no: 800).
Sutrah biasa terwujud berupa dinding, tiang, tongkat yang tertancap dan kendaraan yang melintang di hadapan orang yang shalat. Minimal sutrah besarnya seperti kayu penyanggah di belakang penunggang unta. 
Dari Musa bin Thalhah dan ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu meletakkan dihadapannya (sutrah) seperti (besarnya) kayu penyanggah di belakang penunggang unta, maka shalatlah dan jangan peduli terhadap orang yang berlalu di belakang (sutrah) itu." (Shahih: Muktasharu Muslim no: 339, Muslim I: 358 no: 449, Tirmidzi I: 210 no: 334, ‘Aunul Ma'bud II: 380 no: 671 sema'na). Tingginya kira-kira delapan jari (pent.)
4.   Mushalli (Seorang yang melaksanakan shalat) harus dekat kepada sutrah:
Dari Bilal r.a., (ia berkata), "Bahwasanya Rasulullah saw. shalat, sedangkan jarak antara beliau dengan tembok sekitar tiga hasta." (Shahih: Shifatush shalah hal 62, Fathul Bari I: 579 no: 506)
Dari Sahl bin Sa'ad , ia berkata, "Antara tempat shalat sujud Rasulullah dengan dinding sekedar bisa dilalui seekor kambing." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 574 no: 496, Muslim I: 364 no: 508 dan Aunul Ma'bud II: 389 no: 682 semakna).
Manakala Mushalli sudah meletakkan sutrah di hadapannya, maka jangan biarkan sesuatu berlalu di hadapannya, di antara tempat berdirinya dengan sutrah:
Dari lbnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. shalat, lalu (tiba-tiba) ada seekor kambing berlalu di hadapannya, maka beliau mendorongnya ke arah kiblat sampai beliau melekatkan perutnya pada (sutrah yang ada) di arah kiblat." (Shahih: Shifatush Shalah hal. 64 dan Shahih Ibnu Khuzaimah II: 20 no: 827)
Dari Abi Sa'id al-Khudni, bahwa Rasulullah bersabda, "Apabila seorang di antara kamu shalat, maka janganlah membiarkan seorangpun berjalan di hadapannya dan tolaklah ía semampunya. Jika ia memaksa, maka pukullah karena sesungguhnya ia laksanan syaitan." (Shahib: Muktasharu Muslim no: 338 dan Muslim 1: 362 no: 505).
Apabila Mushalli tidak memasang sutrah maka shalatnya batal karena ada keledai, perempuan, dan anjing hitam yang lewat dihadapannya:
Dari Abdullah bin ash Shamit dan Abi Dzar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu shalat, maka berarti ia telah bersutrah, bila di hadapannya ada seperti kayu penyangga di belakang penunggang unta. Apabila di depannya tidak ada seperti kayu penyangga di belakang penunggang unta, maka shalatnya bisa dibatalkan oleh keledai, perempuan dan anjing hitam (yang lewat dihadapanmu)." Abdullah bin ash-Shamit berkata, "Ya Abu Dzar, mengapa anjing hitam (yang disebut) sedangkan anjing merah dan anjing kuning tidak?" Jawabnya, "Wahai keponakanku, saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw. seperti yang kamu tanyakan kepadaku ini, lalu jawab beliau, "Anjing hitam itu adalah syaitan." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no. 719, Muslim I:365 no:510, Nasa'i II:63, Tirmidzi I:212 no: 337 dan ‘Aunul Ma'bud II:394 no:688).
5.   Haram Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat :
Dari Abi Juhaim r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Andaikata orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui dosa yang akan diterimanya, sudah barang tentu ia berdiri empat puluh tahun lebih baik daripada berlalu di hadapannya." (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari 1: 584 no: 510, Muslim I: 363 no: 507, ‘Aunul Ma'bud II: 393 no: 687, Tirmidzi I: 210 no: 235, Nasa'i II: 66 dan Ibnu Majah I: 304 no: 945).
6.   Sutrah Imam adalah Sutrah Makmum:
Dari Ibnu Abbas , ia berkata, "Saya datang dengan menunggang kuda keledai betina. Pada waktu itu usiaku hampir mendekati ihtilam (masa puber), sedangkan
Rasulullah saw. sedang shalat di Mina bersama para sahabat tidak rnenghadap ke dinding. Kemudian aku lewat di depan shaf, kemudian aku turun (dan atas keledai) lalu kulepaskan keledai tersebut agar mencari makan. Aku masuk ke dalam shaf namun tak seorangpun yang menegurku (karena perbuatan) itu." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim 1: 361 no: 504, ‘Aunul Ma'bud II: 402 no: 701, Fathul Bari I: 571 no: 493).
Dalam riwayat Imam Bukhari ada tambahan BI MINAA ILAA (GHAIRIIJIDAAR (di Mina tidak menghadap ke dinding). Namun ini tidak menafikan selain dinding, sebab sudah dimaklumi dari kebiasaan Rasulullah saw. bahwa beliau tidak shalat di tempat terbuka luas, kecuali di depannya sudah ditancapkan tongkat).  

3.   Sunnah-Sunnah Shalat: Qauliyah Dan Fi'liyah
1.   Sunnah-Sunnah Qauliyah
a.   Doa iftitah, yang paling baik afdhal adalah dari Abi Hurairah, ia berkata: Adalah Rasulullah apabila selesai takbir dalam shalat, diam sebentar sebelum membaca (al-Fatihah), maka aku bertanya, ya Rasulullah engkau kutebus dengan ayah dan ibuku, kulihat engkau berada di antara takbiratul ihram dengan membaca (al-Fatihah) apa yang engkau baca? Sabda beliau, Aku membaca, ALLAAHUMMA BAA'ID BAINI WA BAINA KHATAAYAAYA KAMAA BAAADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI. ALLAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAHUMMAGH SILNI MIN KHATHAAYAAYA BITSTSALJI WAL MAA I WAL BARAD (Ya Allah, jauhkanlah antara kami dengan dosa-dosaku sebagaimana engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dan dosa-dosaku sebagaimana telah dibersihkan pakaian yang putih dan segala kotoran. Ya Allah, cucilah aku dan segala dosa-dosa dengan salju, air dan embun)." (Muttafaqun ‘alaih)
Fathul Bari II: 227 no: 744, Muslim I: 419 no: 594, Ibnu Majah 1:264 no: 805 dan Aunul Ma'bud II: 485 no: 766)
b.   Ta'awwudz, sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT , "Apabila kamu hendak membaca al-Qur'an, maka berlindunglah kepada Allah dan godaan syaitan yang terkutuk." (An-Nahl: 98).
Dari Abu Sa'id al-Khudni dan Nabi bahwa apabila beliau berdiri hendak mengerjakan shalat (setelah takbiratul ihnam) membaca do'a iftitah, lalu mengucapkan A'UUDZU BILLAAHIS SAMII'IL ‘ALUM MINASYSYAITHAANIRRAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dan godaan syaitan yang terkutuk, dan kegilaan syaitan, dan kesombongannya, dan dan kejahatannya)." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 342, ‘Aunul Ma'bud II: 476 no: 760, Tirmidzi I: 153 no: 242)
c.   Mengucapkan aamiin:
Dari Wail bin Hujr r.a., ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila selesai menbaca WALADHAALIIN mengucapkan AAAMIIIN dengan suara keras." (Shahih: Shifatush Shalah hal 82, ‘Aunul Ma'bud III: 205 no: 920, dan Tirmidzi I: 157 no: 248).
 
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila imam sudah mengucapkaa amin, maka hendaklah kamu mengucapkan amin (juga); karena barangsiapa yang ucapan aminnya berbarengan dengan ucapan arninnya para malaikat, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim 1: 307 no: 410, Fathul Bari 11: 262 no: 780, Nasa'i II: 144, ‘Aunul Ma'bud Ii!: 211 no: 924, Tirmidzi I: 158 no: 250, dan lbnu Majah I: 277 no: 851).
d.   Membaca ayat-ayat setelah membaca surat Al-Fatihah:
Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, "Adalah Nabi saw. biasa membaca pada dua raka'at pertama, dan shalat zhuhur surah al-Fatihah dan dua surah yang lain, Rasulullah memanjangkan dua raka'at pertama dari memendekkan dua raka'at terakhir dan kadang-kadang beliau memperdengarkan (kepada kami) bacaan ayat. Dan pada shalat ashar beliau membaca surah lainnya dan memanjangkan raka'at pertama dari shalat shubuh dan memendekkan raka'at kedua." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 932 dan Fathul Bari II: 243 no: 759). 
Dan dari (Abu Qatadah) r.a., ia berkata, "Adalah Nabi saw. biasa membaca pada dua rakaat pertama, dari shalat dzuhur dan ashar surah al-Fatihah dan dua surah yang lain, terkadang beliau memperdengarkan (bacaan) ayat kepada kami, dan pada dua raka'at terakhir beliau membaca surah al-Fatihah." (Shahih: Muktashar Muslim no: 286 dan Muslim I:333 no:155 dan 421).
Dianjurkan juga kadang-kadang untuk membaca surah yang lain setelah membaca surah al-Fatihah pada dua raka'at terakhir.
Dari Abu Sa'id r.a., ia berkata, "Bahwa sesungguhnya Nabi biasa membaca pada dua rakaat pertama dari shalat zhuhur, pada setiap raka'at (dari dua raka'at yang pertama itu) kira-kira tiga puluh ayat, dan pada dua raka'at terakhir kira-kira lima belas ayat, atau separohnya, dan pada setiap raka'at dan dua raka'at pertama dari shalat ashar kira-kira (beliau) membaca lima belas ayat dan pada dua raka'at terakhir (darinya membaca) kira-kira separuhnya." (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 287 dan Muslim I: 334 no: 157 dan 452)
Dianjurkan mengeraskan bacaan ayat al-Qur'an pada waktu shalat shubuh, pada dua raka'at pertama dan shalat maghrib dan isya'. Sebaliknya, disunnahkan melirihkannya pada waktu shalat zhuhur dan ashar serta raka'at ketika dan shalat maghrib dan dua raka'at terakhir dan shalat isya.
e.   Membaca tasbih pada ruku' dan sujud: 
Dari Huzhaifah ra, ia berkata, "Saya shalat bersama Nabi , maka pada ruku'nya beliau mengucapkan, SUBHAANA RABBIYAL ‘AZHIIM (Maha Suci Rabbku yang Maha Agung) dan pada sujudnya, SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi)." (Shahih: Nasa'i no: 1001, Nasa'i II: 190, ‘Aunul Ma'bud III: 123 no: 857, Tirmidzi 1:164 no: 261).
Dari Utbah bin ‘Amir r.a., ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila ruku' mengucapkan, SUBHAANA RABBIYAL AZHIIM WABIHAMDIH (Maha Suci Rabbku yang Maha Agung, dan dengan memuji-Nya (aku bersyukur)) 3X, dan apabila sujud Beliau mengucapkan, SUBHAANA RABBIYAL A'LAA WA BIHAMDIH (Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi, dan dengan memuji-Nya (aku bersyukur)) 3X." (Shahih: Shifatush Shalah hal. 127, ‘Aunul Ma'bud III: 121 no: 856 dan Baihaqi II: 86)
f.    Setelah mengucapkan RABBANAA WA LAKAL HAMDU ketika berdiri i'tidal setelah ruku', dianjurkan membaca salah satu tambahan bacaan berikut ini:
"Sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh antara keduanya seta sepenuh apa yang Engkau kehendaki dan sesuatu sesudah itu." (Shahih: Muktasharu Muslim no: 296, Muslim I : 347 no: 477-478, ‘AunulMa'bud III: 82 no: 832 dan Nasa'i II: 199)
Jika mau, tambahan di atas sudah cukup, dan jika mau lagi sempurnakanlah dengan tambahi berikut ini,  "Engkau adalah yang berhak mendapat pujian dan keagungan, sebaik-baik apa yang diucapkan oleh seorang hamba, dan kita semua ini adalah hamba-Mu. Tiada yang dapat menghalang apa yang telah Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, dan tiada lagi bermanfaat semua kekayaan (untuk menolak siksaan) dari-Mu" (Shahih: Muktashar Muslim no:296, Muslim I:347 no:477 - 478, ‘Aunul Ma'bud III:82 no:832, dan Nasa'i II:199).
 "Ya Rabb kami, dan bagi Mu segala puji (Aku memuj-Mu) dengan pujian yang banyak lagi baik dan berbarakah, sebagaimana yang Rabb kami senangi dan ridhai." (Shahih: Shifatush Shalah hal. 119).
g.   Do'a pada duduk antara dua sujud : Dari Hudzaifah r.a. bahwa Nabi saw. sering mengucapkan, ketika duduk antara dua sujud RAB BIGHFIRLII RABBIGHFIRLII..." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:731 dan Ibnu Majah I:289 no:897).
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. di antara dua sujudnya membaca "ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNI WAHDINII WARZUQNII (Ya Allah, ampunilah aku, berilah aku rahmat, cukupkan aku dan tunjukilah aku, dan berilah aku rizki)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 732, Tirmidzi I: 175 no: 283, ‘Aunul Ma'bud 111:87 no: 835, dan Ibnu Majah I: 290 no: 898).
Peringatan: Dalam riwayat Abu Daud WA'AAFINII sebagai ganti dari WAJBURNII, dalam riwayat Ibnu Majah WARFA'NII sebagai ganti dari WAHDINII, dan dianjurkan menghimpun semuanya, sehingga bacaan di atas ditambah dengan kalimat WA AAFINII WARFA'NII. 
h.   Membaca shalawat kepada Nabi usai tasyahhud awwal, hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi.
Dari Aisyah, ia berkata, "Kami biasa mempersiapkan untuk Rasulullah siwaknya dan air wudhu'nya, kemudian Allah membangunkannya pada malam hari sesuai kehendak-Nya, kemudian Beliau membersihkan gigi dan berwudhu', kemudian shalat sembilan raka'at tanpa diselingi duduk tahiyyat awwal kecuali pada raka'at ke delapan, maka (pada raka'at ini) beliau berdo'a kepada Rabbnya, lalu membaca shalawat kepada Nabi-Nya , kemudian bangkit tanpa mengucapkan salam. Setelah itu shalat untuk raka'at ke sembilan, kemudian duduk (tasyahhud akhir), lalu memuji Rabbnya dan bershalawat kepada Nabi-Nya, lalu berdo'a, kemudian memberi salam..." (Shahih: Muktashar Muslim no: 390 dan Muslim I: 512 no: 746).
i.    Berdo'a setelah tasyahhud awal dan tasyahhud akhir:
Adapun berdo'a seusai tasyahhud awal, dan dalilnya sebagai berikut:
Dari Ibnu Mas'ud ra, ia berkata: Sesungguhnya Muhammad bersabda, "Apabila kamu duduk pada setiap dua raka'at, maka ucapkanlah, ATTAHIYYATU LILLAAHI, WASHSHALAWAATU WATHTHAYYIBAAT, ASSALAAMU'ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH, ASSALAMAMU ALAINAA WA ‘ALAA IBAADILLAHISH SHALIHIN, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUH. Kemudian hendaklah seorang di antara kamu memilih do'a yang paling ia senangi, lalu berdo'alah kepada Rabbnya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 336 dan Nasa'i II:228).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu selesai membaca tasyahud akhir, maka berlindunglah kepada Allah maka berlindungla  kepada Allah dari empat perkara; (pertama) dan adzab jahannam, (kedua) dan adzab kubur (ketiga) dan azab fitnah mati dan hidup, dan (keempat) dar kejahatan al-Masih Dajjal." (Shahih: Muktashar Muslim no: 306, Shahih Ibnu Majah no: 741, Muslim I: 412 no: 588, ‘Aunul Ma'bud III: 273 no: 968 dan Ibnu Majah I: 294 no: 909)
j.    Mengucapkan salam kedua, karena Nabi mengucapkan salam dua kali: Daii Ibnu Mas'ud bahwa Nabi biasa mengucapkan ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya, "ASSALAAMU ALAIKUM WARAH MATULLAAHI, WASSALAAMU ‘ALAIKUM WARAHMA TULLAAHI" hingga terlihat putih pipinya. (Shahih: Shahih Abu Daud no: 878, ‘Aunul Ma'bud III: 288 no: 983, Nasa'i III: 62, Ibnu Majah I: 296 no: 914, Tirmidzi I: 181 no: 294 tanpa kalimat terakhir). 
Terkadang Rasulullah mencukupkan dengan sekali salam saja sebagaimana yang dijelaskan riwayat di bawah ini:
Dari Aisyah bahwa Nabi sering mengucapkan salam sekali dalam shalat ke arah depannya, ia condong ke sebelah kanan sedikit. (Shahih: ‘Shahih Tirmidzi no: 242 dan Tirmidzi I: 182 no: 295)  

2. Sunnah-sunnah Fi'liyah
a.   Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, akan ruku' mulai mengangkat kepala dan ruku', dan ketika bangun dan tasyahhud pertama:
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah biasa mengangkat kedua tangannya (sampai) sejajar dengan kedua bahunya, bila memulai shalat dan apabila takbir untuk ruku', serta manakala mengangkat kepalanya dan ruku', maka beliau juga mengangkat keduanya." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 218 no: 735, Muslim I: 292 no: 22 dan 390, Tirmidzi 161 no: 225, Nasa'i II: 122). 
Dari Nafi' ia berkata "Bahwa Ibnu Umar apabila memulai shalatnya, dia bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya, apabila akan ruku' mengangkat kedua tangannya, apabila mengucapkan SAMI ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, mengangkat kedua tangannya, dan apabila bangun dan dua raka'at pertama Rasulullah mengangkat kedua tangannya (juga). Dan hal itu dia terima dan Nabi saw.." (Shahih Abu Daud no: 663, Fathul Bari II: 222 no: 739, ‘Aunul Ma'bud II: 439 no: 727)
Disunnahkan pula mengangkat kedua tangan, dan kadang-kadang pada setiap akan turun ada bangkit.  Dari Malik bin al-Huwairits r.a. bahwa ia pemah melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya, yaitu apabila ruku', apabila akan mengangkat kepalanya dan ruku', dan apabila akan sujud, dan apabila sedang mengangkat kepalanya dan sujud hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua daun telinganya." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 104, Nasa'i II: 206, al-Fathur Rabbani III: 167 no: 493)
b.   Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada:
Dari Sahl bin Sa'ad r.a., ia berkata, "Adalah para sahabat diperintahkan agar setiap orang meletakkan tangan kanannya di atas hastanya yang kiri dalam shalat." Abu Hatim berkomentar, "Aku tidak mengetahui Sahl bin Sa'd, melainkan menyandarkan riwayat ini kepada Rasulullah ." (Shahih: Muktasbar Bukhari no: 402, Fathul Bari II: 224 no: 740, dan Muwaththa' Imam Malik hal. III no 376). 
Dari Wail bin Hujr, ia berkata, "Aku pernah shalat bersama Rasulullah, dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dada." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 352 dah Shahih Ibnu Khuzaimah I: 243 no: 479). 
c.   Melihat ke tempat sujud:
Dari Aisyah r.a., berkata, "Tatkala Rasulullah masuk ke dalam Ka'bah (lalu shalat), maka penglihatannya tidak pernah menyimpang dan tempat sujudnya sampai keluar darinya." (Shahih: Shifatush Shalah hal. 69 dan Mustadrak Hakim I: 479)
d.   Ketika ruku' dianjurkan melakukan hal-hal yang terkandung dalam hadits-hadits ini:
Dari Aisyah ra, berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila ruku', tidak mengangkat kepalanya dan tidak (pula) merendah-kannya, namun di antara keduanya."(Shahih: Shifatush Shalah hal. 111, Muslim I: 357 no: 498 dan ‘Aunul Ma'bud II: 48 no: 768). 
Dari Abu Hamid r.a. tentang penjelasannya mengenai shalat Rasulullah, ia berkata, "Apabila beliau ruku', beliau menekankan kedua tangannya pada kedua lututnya, kemudian meluruskan tulang pungungnya." (Shahih: Shifatush Shalah hal. 110, Fathul Bari II: 305 no: 828 dan ‘Aunul Ma'bud II: 427 no: 717).
"Dari Wail bin Hujr ra bahwa Nabi saw. apabila ruku', beliau merenggangkan jari-jari." (Shahih: Shifatus Shalah hal. 110, Shahih Ibnu Khuzaimah I: 301 no: 594).
Dari Abu Hamid r.a. bahwa Rasulullah saw. (apabila) ruku', meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya, seolah-olah beliau menggenggam keduanya, dan mengencangkan kedua tangannya, lalu menyingkirkan keduanya dan sisinya." (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 214, ‘Aunul Ma'bud II: 429 no 720 dan Tirmidzi I: 163 no: 259)
e.   Mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut ketika akan sujud:
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu akan sujud maka janganlah duduk seperti duduknya unta, namun letakkanlah kedua tangannya sebelum kedua lututnya!" (Shahih Abu Daud no: 746, ‘Aunul Ma'bud III: 70 no: 825, Nasa'i II: 207 dan Al-Fathur Rabbani 111:2 76 no: 656) Al Hafizh lbnu Hajar berkata, ‘Yang dimaksud TSUMMA HASHARA ZHAHRAHU, huruf shad dan ha' dibaca fathah. Demikian menurut al-Khathabi." (Fathul Bari II: 308, terbitan Darul Ma'rifah). 
f.    Di waktu sujud dianjurkan melakukan gerakan yang terkandung dalam hadits-hadits di bawah ini:
Dari Abu Humaid, tentang penjelasan perihal shalat Nabi saw., ia berkata, "Apabila beliau sujud beliau meletakkan kedua tangannya, tidak mekar dan tidak pula menggenggam keduanya, dan menghadap dengan ujung jari-jari kedua kakinya ke arah Kiblat." (Shahih Shahih Abu Daud no: 672, Fathul Bari II: 305 no: 828 dan ‘Aunul Ma'bud II: 427 no: 718).
Dari al-Bara' ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila kamu sujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu!"
(Shahih: Shifatush Shalah no: 126 dan Muslim I: 356 no: 494)
Dari Abdullah bin Malik, Ibnu Buhainah r.a. bahwa Nabi saw. apabila shalat merenggangkan kedua tangannya (dan kedua lambungnya) hingga kelihatan putih ketiaknya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 294 no: 807, Muslim I: 356 no: 495, dan Nasa'i II: 212)
Dari Aisyah r.a., berkata, "Aku pernah kehilangan Rasulullah saw., padahal (tidur) bersamaku di atas ranjangku, kemudian kudapati Rasulullah dalam keadaan sujud dan merapatkan kedua tumitnya serta mendapatkan ujung jari-jari kakinya ke arah Kiblat." (Shahih: Shifatush Shalah hal 126, Shahih Ibnu Khuzaimah I:328 no:654 dan Baihaqi II:116). 
Dari Wail bin Hujr r.a., ia bercerita: Aku datang ke Madinah, lalu aku berkata, "Aku akan benar-benar melihat shalat Rasulullah saw.." Kemudian dia menyebutkan sebagian hadits dan berkata, "Kemudian beliau menukik lagi sujud, sehingga kepalanya berada antara kedua telapak tangannya."
(Shahihul Isnad: Shahih Ibnu Khuzaimah I:323 no:641).
Dari Wail bin Hujr ra bahwa Nabi saw. apabila sujud, merapatkan jari-jari tangannya." (Shahih: Shifatush Shalat hal. 123, Sahahih Ibnu Khuzaimah I:324 no:642 dan Baihaqi II: 112).
Dari al-Bara r.a., berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila sujud, meletakkan kedua tangannya di tanah menghadapkan kedua telapak tangannya dan ujung jari-jarinya ke arah Kiblat." (Shahihul Isnad: Shifatush Shalah hal 123 dan Baihaqi II:113).
g.   Disunnahkan cara duduk antara dua sujud seperti yang terkandung dalam hadits-hadits berikut ini:
Dari Aisyah ra, ia berkata, "Adalah beliau saw. duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya." (Shahih: Muktashar Muslim no:302 Muslim I: 357 no:498, dan ‘Aunul Ma'bud II: 489 no:768). 
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Termasuk sunnah shalat (Nabi saw.) ialah menegakkan kaki kanannya, menghadapkan jari-jarinya ke arah Kiblat, dan duduk di atas (kaki) yang kiri." (Shahih: Shahih Nasa'i no:1109 dan Nasa'i II:236)
Dari Thawus, ia berkata, "Kami pernah menuturkan tentang duduk iq-'a' di atas kedua kaki kepada Ibnu Abbas maka dia menjawab, "Itu sunnah (Nabi )." Lalu kami berkata (lagi) kepadanya, "Sesungguhnya kami memandang cara duduk ini sebagai petanda orang yang bertabiat kasar." Jawab Ibnu Abbas, "(Tidak) bahkan itu adalah sunnah Nabimu ." (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 303, Muslim I: 380 no: 536, ‘Aunul Ma'bud III: 79 no: 830 dan Tirmidzi 1: 175 no: 282)
h.   Tidak bangun dan sujud sebelum duduk (istirahat) dengan sempurna:
Dari Abu Qilabah ia berkata, "Telah bercenita kepada kami Malik bin Huwairits al-Laitsi bahwa ia pernah melihat Nabi saw. shalat, yaitu apabila beliau selesai dan raka'at ganjil dalam shalatnya, tidak langsung bangun sebelum duduk (Istirahat) dengan sempurna." (Shahih: Mukhtashar Bukhari no: 437, Fathul Bari II: 302 no: 823, ‘Aunul Ma'bud III: 78 no: 829). 
i.    Bertekan pada lantai apabila bangkit dan raka'at:
Dari Ayyub dan Abu Qilabah, ia bercerita, "Telah datang kepada kami Malik bin Huwairits, lalu shalat dengan kami di masjid kami ini." Lalu dia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan shalat dengan kamu dan yang kuinginkan bukan shalat (fardhu atau sunnah), namun aku ingin memperlihatkan kepada kamu bagaimana aku melihat Nabi saw. shalat." Ayyub bertanya kepada Abu Qilabah, "Dan bagaimana shalat beliau?" Jawabnya, "Seperti shalat syaikh kita ini, yaitu Amr bin Salmah" Kata Ayyub, "Syaikh tersebut menyempurnakan takbir, dan apabila mengangkat kepalanya dan sujud kedua, ia duduk sambil bertekan pada lantai, kemudian bangkit." (Shahih: Muktashar Bukhari no: 437, Fathul Bari II: 303 no: 824, Baihaqi II: 123 dan asy-Syafi'i dalam al-Umm I: 116).
Dalam al-Umm I:117, Imam Syafi'i berkata, "Kami mengamalkan riwayat ini. Oleh karena itu, kami menyuruh orang yang bangun dari sujudnya atau dari duduknya dalam shalat, agar kedua tangannya bertekan pada lantai secara bersamaan demi mengikuti sunnah Nabi saw. ini. Cara bangkit seperti ini lebih mirip dengan tawadhu' dan sangat membantu orang mengerjakan shalat dan supaya tidak terjungkir. Cara berdiri yang tidak seperti ini, tidak saya sukai, namun tidak harus mengulangi dan tidak pula harus sujud sahwi. selesai"
j.    Cara duduk dua tasyahhud adalah sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits di bawah ini:
Dari Abu Humaid bahwa ia berkata ketika menerangkan sifat shalat Nabi saw., "Yaitu apabila Beliau duduk pada raka'at kedua, Beliau duduk dia kaki kirinya dan menancapkan yang kanan; apabila Beliau duduk pada raka'at terakhir, Beliau memajukan kaki kirinya dan menancapkan kaki kanannya serta duduk di atas lantai." (Shahih: Muktashar Muslim no; 448 dan Fathul Bari II: 305 no: 828).
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila duduk dalam shalat, meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan dan memegang seluruh jari-jarinya dan (kemudian) berisyarat dengan jari yang mengiringinya ibu jari (yaitu jari telunjuk) dan meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 851, Muslim 1:408 no: 116 dan 580 dan Aunul Ma'bud II: 277 no: 972)
Dari Nafi' ia berkata, "Adalah Abdullah bin Umar apabila duduk dalam shalat meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, dan berisyarat dengan jari (telunjuk) nya dan diiringi dengan penglihatannya (ke jari tersebut) ", kemudian berkata, Bahwa Rasulullah bersabda, ‘telunjuk ini benar-benar lebih keras bagi syaitan daripada besi." (Hasan: Shifatush Shalah hal. 140, al-Fathur Rabbani IV: 15 no: 721).  

4. Doa Dan Dzikir Seusai Shalat
Dari Tsauban, ia berkata, ‘Rasulullah apabila selesai shalat; membaca istighfar tiga kali dan mengucapkan ALLAAHUMMA ANTAS SA. LAAM WA MINKAS SALAAM TABAARAKTA YA DZALJALAALI WAL IKRAAM (Ya Allah Engkaulah yang mempunyai kesejahteraan dan dari Engkaulah kesejahteraan. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan)", Al-Walid bertanya kepada al-Auza'i, Bagaimana cara beristighfar? Jawabnya, "Hendaklah engkau mengucapkan, ASTAGHFIR ULLAAH, ASTAGH FIR ULLAAH, ASTAGHFIRULLAAH, (Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 756, Muslim I: 414 no: 591, Tirmidzi I: 184 no: 299, Nasa'i III: 68, ‘Aunul Ma'bud IV: 377 no: 1499, Ibnu Majah I: 300 no: 928). 
Dari Abi az-Zubair bahwa Ibnu Zubair mengucapkan pada setiap kali usai shalat ketika selesai mengucapkan salam "LAA ILAA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKALAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU, WAHUWA ALAA KULLII SYAI-IN QADIIR, LA HAULAA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LA ILAAHA ILLALLAAH, WA LAA NA'BUDU ILLAA IYYAAHU, LAHUN N1'MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA-UL HASANU LAA ILAAHA ILALLAHU MUKHLISHIINA LAHUDDIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUN. (Tidak Illah (yang patut diibadahi) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNnya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala puji, dan Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu. Tak ada daya dan tak ada (pula) kekuatan, melainkan dengan izin Allah. Tiada Illah (yang layak diibadahi) , kecuali Allah, dan kami tidak beribadah, kecuali kepada-Nya. Dialah yang mempunyai segala ni'mat dan segala keutamaan dan Dialah yang mempunyai pujian yang baik. Tiada Illah (yang patut diibadahi), kecuali Allah, kami ikhlaskan taat kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak suka)." Dan Ibnu Zubair berkata, "Adalah Rasulullah SAW. mengucapkan kalimat tahlil ini pada setiap kali usai shalat (fardhu)." Shahih: Shahih Nasa'i no: 1272, Muslim I: 415 no: 594, ‘Aunul Ma'bud IV: 372 no: 1493, Nasa'i III: 70).
Dari Warad, bekas budak al-Mughirah bin Syu'ban bahwa Al-Mughirah bin Syu'ban pernah menulis surat kepada Muawiyah ra (yang bertuliskan), "Bahwa Rasulullah SAW. apabila selesai dari shalat sesudah memberi salam, Beliau mengucapkan, LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKALAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ALAA KULLISYAI IN QADIIR. ALLAAHUMMA LAA MAANI'A LIMAA A'THAITA, WA LAA MU'THIYA LIMAA MANA'TA WA LAAYANFA'U DZAL JADDI MINKAL JADD (Tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali ) Allah semata, tiada sekutu baginya, Dialah yang mempunyai segala kerajaan dan Dialah yang mempunyai segala puji dan Dialah yang Maha BerKuasa atas segala sesuatu. Allahumma, Ya Allah, tiada. yang dapat menghalangi apa yang telah Engkau berikan dan tiada (pula) yang dapat memberi apa yang yang Engkau halangi, dan tiada lagi bermanfa'at bagi yang memiliki kekayaan semua kekayaan (untuk menolak siksaan) dari-Mu, hai Dzat yang kaya)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 325 no: 844, Muslim I: 414 no: 593 dan ‘Aunul Ma'bud IV: 371 no: 1491).
Dari Ka'ab bin Ujrah ra dan Rasulullah saw., Beliau bersabda, "Ada beberapa wirid yang mana orang yang mengucapkannya atau melakukannya tidak akan kecewa (merugi); mengucapkan tasbih (subhanallah) tiga puluh tiga kali, tahmid (alhamdulillah) tiga puluh tiga kali dan takbir (allahu akbar) tiga puluh empat kali, pada setiap selesai shalat." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 1278, Muslim I: 418 no: 596, Tirmidzi V: 144 no: 3473 dan Nasa'i III: 75)
Dari Abu Hurairah r.a., dan Rasulullah saw., bersabda, "Barangsiapa membaca tasbih (Subhanallah) pada setiap kali usai shalat tiga puluh tiga kali, memuji Allah (Alhamdulillah) tiga puluh tiga kali dan mengagungkan Allah (Allahu Akbar) tiga puluh tiga kali, niaka itu (berjumlah) sembilan puluh sembilan dan
sebagai pelengkap seratus, hendaklah ia mengucapkan, LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKALAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU, WAHUWA ALAA KULLI SYA-IN QADIIR,' maka niscaya diampuni dosa-dosanya, walaupun sebayak buih di lautan) (Peringatan dalam beberapa hadits disebutkan sejumlah bilangan dzikir, ada yang sepuluh sepuluh Fathul Bari XI:132 no:6329), ada yang sebelas sebelas (Muslim I:417 no:143/595), ada yang dua puluh lima dua puluh lima dan ditambah dengan kalimat tahlil (laa ilaaha illallaah) (Nasa'i III:76 dan Shahih Nasa'i no:1279), maka seorang yang shalat hendaknya dia mengamalkan pula bilangan-bilangan tersebut (sesekali bilangan 10, 11 atau 25). (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 314 dan Muslim I: 418 no: 597)
Dari Mu'adz bin Jabal ra, ia berkata, "Pada suatu hari Rasulullah SAW. berjabat tangan denganku seraya bersabda, "Ya Mu'adz, Wallahi, Sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu." Kujawab "(Kujadikan bapakku dan ibuku sebagai penebusmu) demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu (Sabda Rasulullah (lagi), "Ya, Mu'adz, Sesungguhnya aku akan berwasiat kepadamu, janganlah sekali-sekali engkau tinggalkan membaca pada setiap usai shalat ALLAAHUMMA A'INNII ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA-HUSNI IBAADATIK (Ya, Allah, tolong aku untuk menyebut nama-Mu dan bersyukur kepada-Mu serta membaguskan ibadah kepada-Mu." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 7969, ‘Aunul Ma'bud IV: 384 no: 1508 dan Nasa'i III: 53). 
Dari Abu Umamah ra bahwa Nabi SAW. bersabda, "Barangsiapa membaca ayat kursi pada setiap usai shalat wajib, maka tak ada yang bisa menghalanginya masuk surga, kecuali ia meninggal dunia." (Shahih: Shahihul Jami' no:6464, Thabrani dalam al Kabir VIII: 134 no:7532).
Muhammad bin Ibrahim dalam haditsnya menambah, "Dan (kemudian) membaca, QUL HUWALLAAHU AHAD."
Dari Uqbah bin Amir ra, ia berkata, "Rasulullah SAW. pernah memerintahkanku membaca Muawwidzat (QUL HUWALLAHU AHAD, QUL A'UDZU BIRABBIL FALAQ dan WUL A'UDZU BIRABBINNAS) di setiap selesai shalat." (Shahih: Shahih Nasai'i no:1268, ‘Aunul Ma'bud IV: 385 no:1509, dan Nasa'i III:68).
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Nabi saw. biasa mengucapkan bila selesai memberi salam dan shalat shubuh, ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA ‘ILMAN NAAFI-AN, WA RIZQAN THAYYIBAN, WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAN (Ya Allah, sesungguhnya aku ‘mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfa'at, rizki yang baik, dan amal yang dikabulkan)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 753, Ibnu Majah I: 298 no: 925 dan al-Fathur Rabbani IV: 55 no: 776).  

5.   Perbuatan Yang Dimakruhkan Dalam Shalat
1.   Melakukan gerakan pada pakaian dalam atau badan tanpa hajat.
Dari Mu'aiqib bahwa Nabi bersabda tentang seorang sahabat (yang pakaian) meratakan tanah (tempat sujudnya) ketika sujud, "Jika engkau (terpaksa) rnelakukannya, rnaka cukup satu kali saja." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 79 no: 1207, Muslim I: 388 no: 49 dan 546, ‘Aunul Ma'bud III: 223 no: 934, Tirmidzi 1: 235 no: 377 Ibnu Majah I: 327 no: 1026, dan Nasa'i III: 7)
2. Berkacak pinggang, yaitu mushalli meletakkan tangannya di pinggang (‘malangkerik')
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Telah dilarang seseorang shalat dengan berkacak pinggang." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 88 no: 1220, Muslim 1: 387 no: 545, ‘Aunul Ma'bud III: 223 no: 94, Tirmidzi 1: 237 no: 381, dan Nasa'i II: 127).
3.   Mengangkat pandangan ke langit
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Hendaklah benar-benar berhenti kaum-kaum yang sering mengarahkan penglihatan ketika berdoa dalam shalat ke arah langit, atau (jika tidak berhenti) penglihatan mereka benar-benar akan disambar (petir)." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:343, Muslim I:321 no:429, Nasa'i III:39).
4.   Menoleh tanpa keperluan 
Dari Aisyah r.a. berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. menoleh dalam shalat, maka beliau bersabda, "Itu adalah penipuan/ pencopetan yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:7047, Fathul Bari II:234 no:751, ‘Aunul Ma'bud III: 178 no:897, Dan Nasa'i III:8).
5.   Melihat ke Sesuatu yang Melakukan
Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah shalat dengan memakai pakaian bergaris-garis, lalu beliau berkata, "Gambar-gambar ini telah membuat (pikiran) ku terganggu. Hendaklah kalian bawa pergi pakaian ini kepada Abu Jahm dan datangkanlah untukku Anbi janiyah (jenis pakaian)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:2066, Fathul Bari II: 234 no:752, Muslim I:391 no:556, ‘Aunul Ma'bud III:182 no:901, Nasa'i II:72, dan Ibnu Majah II: 1172 no:3550).
Anbijaniyah adalah adalah pakaian tebal yang tidak bergambar, polos. Orang Arab mengatakan "Kabsy Anbija-i adalah kambing yang berbulu tebal, maka pakaian anbija-i juga demikian adalah pakaian yang tebal. Lihat Al-Fathur Rabbani I:482."
6. Melabuhkan Pakaian dan Menutup Mulut
"Dan Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. telah mencegah (umatnya) mengulurkan pakaian hingga menyapu dan tanah dan melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat ‘(dengan sesuatu)." (Hasan: Halaman 215
Shahih Ibnu Majah 966, ‘Aunul Ma'bud II: 347 no: 629 danTirmidzi I: 234 no: 376 kalimat pertama saja, dan Ibnu Majah I: 310 no: 966 kalimat kedua saja) 
Dalam ‘Aunul Ma'bud Syamsul Haqq II: 347 menulis bahwa al-Khaththabi menegaskan, "as-Sadl" ialah mengulurkan pakaian hingga menyapu tanah." 
Dalam Nailul authar asy-Syaukani mengatakan bahwa Abu Ubaidah dalam kitab Gharibnya berkata, as-Sadl ialah seorang lelaki yang melabuhkan pakaiannya tanpa menumpukkan kedua bagian sampingnya di hadapannya. Jika menumpukkan keduanya. Tidak disebut as-sadl." Penulis An-Nihayah menegaskan "As-Sadl ialah seorang yang berselimut dengan jubahnya dengan memasukkan kedua tangannya dan dalam lalu ia ruku' dan sujud dalam kondisi jubahnya dikenakan seperti itu. Dan ini biasanya dilakukan pada gamis dan lainnya yang termasuk jubah. Ada yang berpendapat, yaitu seseorang meletakkan bagian tengah dan kain di atas kepalanya dan mengulurkan dua ujungnya kesebelah kanannya dan ke sebelah kirinya tanpa meletakkan keduanya di atas bahunya." Al-Jauhari berkata, "SADALA TSAUBAHU YASDULUHU BIDHAMMI SADLAN, yaitu menurunkan (mengulurkan) pakaian. Dan, tiada halangan untuk mengartikan hadits ini dengan seluruh arti-arti ini, karena kata as-Sadl memiliki beberapa arti tersebut, dan mengartikan lafadz musytarak (mempunyai lebih dan satu ma'na, edt.) dengan semua ma'na adalah pendapat yang kuat." Selesai.
7.   Menguap
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Menguap dalam shalat dari syaitan; karena itu, bila seseorang diantara kamu menguap, maka tahanlah semampunya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 3031, ‘Firmidzi I: 230 no: 368 dan Shahih Ibnu Khuzaimah II: 61 no: 920). 
8.   Meludah ke arah Kiblat atau ke sebelah Kanan
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya apabila seseorang di antara kamu mengerjakan shalat, maka sejatinya Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi berada di hadapannya, karena itu janganlah sekali-kali meludah ke hadapannya dan jangan (pula) ke sebelah kanannya. Dan hendaklah meludah ke sebelah kirinya. Kalau itu terjadi dengan mendadak, maka tahanlah dengan pakaiannya begini!" Kemudian beliau melipat pakaiannya sebagian atas sebagian yang lain." (Shahih: Muslim IV no: 2303 dan 3008 dan ‘Aunul Ma'bud II: 144 no: 477).
9.   Saling mencengkeram kedua tangan hingga menyatu:
Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seseorang di antara kamu berwudhu' di rumahnya, lalu datang ke masjid. Maka ia dianggap dalam shalat hingga pulang (dan masjid). Oleh karena itu, janganlah ia berbuat begini. Dan, beliau saling mencengkeram kedua jari-jari tangannya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 445 dan Mustadrak Hakim I: 206).
10. Menyingkirkan Rambut dan Pakaian. 
Dari Ibnu Abbas r.a.  berkata, "Saya diperintah sujud di atas tujuh anggota (badan), dan saya dilarang menyingkirkan rambut dan pakaian (dan dahi)." (Shahih: FathulBarill: 297 no: 812, Musliml: 354no: 23Odan 490, dan Nasa'i II: 209)
11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika hendak sujud.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw., "Apabila seorang di antara kamu sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya unta; namun letakkanlah kedua tangannya sebelum kedua lututnya!" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 746, ‘Aunul Ma'bud III: 70 no: 825, Nasa'i II: 207, dan Al-Fathur Rabbani III: 276 no: 656).
12. Merenggangkan kedua tangan dalam sujud.
Dari Anas r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, "Bertindak tepat dalam sujud dan janganlah seseorang di antara kamu menghamparkan (merenggangkan) kedua hastanya seperti yang dilakukan anjing." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 301 no 822, Muslim I: 355 no: 493, Tirmidzi I: 172 no: 275, ‘Aunul Ma'bud III: 166 no: 883, Ibnu Majah I: 288 no: 892 dan Nasa'I II: 212 sema'na)
13. Shalat di dekat hidangan makanan, atau menahan kencing atau buang air besar:
Dari Aisyah r.a., ia berkata saya mendengar Nabi saw. bersabda, "Tidak (sempurna) shalat didekat hidangan makan dan tidak (pula sempurna shalat) orang yang didorong oleh ingin kencing dan ingin buang air besar." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:7509, Muslim I:393 no: 560 dan ‘Aunul Ma'bud I:160 no:89)
14. Mendahului gerakan Imam:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Tidakkah seorang di antara kamu merasa khawatir bila mengangkat kepalanya sebelum imam (mengangkatnya) Allah akan menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai atau Allah membentuk raut wajahnya sebagai wajah keledai." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II:182 no:691 dan ini Lafadz baginya, Muslim I:320 no:427, ‘Aunul Ma'bud II:330 no:609, Nasa'i II:69 dan Ibnu Majah I:308 no:961).  

6.   Hal-Hal Yang Mubah Dilakukan Dalam Shalat
1.   Berjalan karena ada hajat:
Dari Aisyah r.a., berkata, "Rasulullah saw. biasa shalat (sunnah) di dalam rumah sedangkan pintunya ditutup, lalu aku datang kemudian saya minta dibukakan pintu, lalu beliau berjalan lantas membuka pintu untukku, kemudian kembali (lagi) ke tempat shalatnya." Dan aku mengira bahwa pintu itu berada di arah kiblat. (Hasan: Shahih Nasa'i no: 1151, Tirmidzi II: 56 no: 598, ‘Aunul Ma'bud III: 190 no: 910 dan Nasa'i III: 11)
2. Menggendong anak kecil:
Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Rasulullah  saw. pernah shalat menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah saw. dan (binti) Abil ‘Ash bin Rabi'. Maka apabila Rasulullah berdiri, beliau menggendong dan apabila beliau sujud, beliau letakkan." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 590 no: 516, Muslim I: 385 no: 543, ‘Aunul Ma'bud III: 185 no: 904, dan Nasa'i II: 45)
3.   Membunuh makhluk yang berbahaya:
 Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah memerintah (kami) membunuh dua makhluk hitam ketika shalat, yaitu kalajengking dan ular. (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1174 dan Shahih Ibnu Khuzaimah II: 41 no: 869)
4.      Menoleh dan berisyarat karena dianggap sangat penting
Dari Jabir r.a., berkata, "Rasulullah saw. pernah merasa sakit, lalu kami shalat di belakangnya, sedangkan beliau dalam posisi duduk. Kemudian menoleh kepada kami lalu melihat kami dalam keadaaan berdiri, kemudian memberi isyarat kepada kami (agar duduk), maka kemudian kami duduk (juga)." Shahih: Shahih Nasa'i no: 1145, Muslim 1: 309 no: 413, Nasa'i III: 9 dan ‘Aunul Ma'bud Ii: 313 rio: 588). 
5.   Meludah pada pakaian atau mengeluarkan sapu tangannya yang ada di dalam sakunya. Ini sesuai dengan hadits Jabir yang melarang meludah ke arah Kiblat:
Dari Jabir r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seorang di antara kamu apabila ia berdiri shalat, maka sejatinya Allah Tabaraka wa Ta' ala berada di depannya. Maka dan itu, janganlah sekali-kali  meludah ke hadapannya dan jangan (pula) ke sebelah kanannya. Namun hendaknya meludah ke sebelah kirinya di bawah kaki kirinya. Jika mendadak, maka arahkanlah pada pakaiannya begini." Kemudian Rasulullah melipat pakaiannya, sebagian di atas sebagian yang lain. (Shahih: Muslim IV:
2303 no: 3008 dan ‘Aunul Ma'bud II: 144 no: 477).
Teks Arab hadits ini sudah termuat pada beberapa halaman sebelumnya (pent.).
6.   Menjawab salam dengan isyarat:
Dari Abdullah bin Umar r.a., bercerita: (Pada suatu hari, Rasulullah saw. keluar pergi ke Quba dan shalat di sana. Di saat beliau shalat, datanglah kaum Anshar, lalu mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya kepada Bilal, "(wahai Bilal), bagaimana engkau melihat Rasulullah menjawab salam mereka ketika mereka mengucapkan salam kepada beliau di saat Rasulullah saw. shalat?" Jawabnya, "Rasulullah berbuat begini." Bilal membuka telapak tangannya dan Ja'far bin Aun membuka telapak tangannya. Bilal menjadikan bagian bawah telapak tangannya rnengarah ke bawah (ke lantai) dan menjadikan punggung telapak tangannya mengarah ke atas." (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 820 dan ‘Aunul Ma'bud III: 195 no: 915). 
7.   Mengucapkan kalimat tasbih (Subhanallah) bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi perempuan, bila terjadi sesuatu dalam shalat:
Dari Sahi bin sa'ad r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Wahai segenap sahabat, mengapa ketika terjadi sesuatu pada kalian dalam shalat, kalian bertepuk tangan, padahal tepuk tangan hanyalah untuk kaum perempuan. Barangsiapa yang menjumpai suatu kejadian dalam shalatnya, maka ucapkanlah ‘SUBHANALLAAH', karena sesungguhnya tak seorangpun yang mendengarkan ucapan ‘SUBHANALLAAH' melainkan pasti menoleh." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 107 no: 1234, Muslim I: 316 no: 421 dan ‘Aunul Ma'bud III: 216 no: 928). 
8.   Memberitahu imam yang bacaannya keliru:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. mengerjakan suatu shalat, lalu membaca (ayat al-Qur'an) padanya keliru. Tatkala selesai shalat beliau bertanya kepada Ubay (bin Ka'ab), "Apakah engkau shalat berjama'ah dengan kami?" jawabnya "Ya" Beliau bertanya (lagi), "Gerangan apakah yang menghalangimu (untuk melarang bacaanku?) ?" (Shahih: Shahih Abu Daud io: 803 dan ‘Aunul Ma'bud III: 175 no: 894)
9.   Meraba kaki orang yang tidur: 
Dari Aisyah r.a., ia bertutur "Saya pernah menselonjorkan kakiku di arah Kiblat Nabi saw. yang sedang shalat (malam). Apabila beliau akan sujud, merabaku lalu kuangkat kakiku. Apabila beliau berdiri, kuselonjorkan (lagi) kakiku." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 80 no: 1209 dan lafadz mi baginya, dan Muslim 1: 367 no: 272/5 12 sema'na).
10. Memukul orang yang memaksa akan lewat di hadapan orang yang sedang shalat:
Dari Abu Sa'id r.a. berkata: Aku mendengar Nabi saw. bersabda, "Apabila seseorang diantara kamu sedang menghadap ke sesuatu agar terlindung dan orang-orang (yang akan lewat di depannya), kemudian ada seseorang hendak lewat di hadapannya, maka cegahlah di lehernya. jika memaksa, maka pukullah; karena sesungguhnya ia adalah syaitan." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 638, Muslim I: 326 no: 259 dan 505).
11. Menangis:
Dari Ali, ia bertutur, "Tidak ada prajurit berkuda pada perang badar selain al-Miqdad. Sungguh saya melihat kami; dan tiada diantara kami melainkan semuanya tidur nyenyak kecuali Rasulullah saw. ia shalat (malam) di bawah pohon sambil menangis hingga shubuh." (Sanadnya Shahih: al Fathur Rabbani XXI: 36 no: 225 dan Shahih Ibnu Khuzaimah II: 52 no: 899).  

7. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
1. Yakin berhadas:
Dari Abu Abbad bin Tamim dan pamannya bahwa ia pernah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang seseorang yang mengkhayal bahwa dirinya mendapatkan sesuatu dalam shalatnya, maka Rasulullah bersabda, "Janganlah ia keluar-atau janganlah rnembatalkan shalatnya-sebelum mendengar suara (kentut), atau mencium bau kentut." (Muttafaqun'alaih: FathulBaril: 237 no: 137, Muslim I: 276 no: 361, ‘AunulMa'budl: 299 no: 174 dan Nasa'i 1:99 serta Ibnu Majah I: 171 no: 513).
2.   Sengaja meninggalkan salah satu rukun atau syarat tanpa ada udzur. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi kepada seorang sahabat yang shalatnya tidak benar :
"Kembalilah, lalu shalatlah (lagi); karena sesungguhnya engkau belum shalat (dengan benar)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 276-277 no: 793, Muslim!: 298 no: 397, ‘Aunul Ma'bud III: 93-96 no: 841, ‘Timidzi I: 185-186 no: 301 dan Nasa'I II: 125).
Dari Khalid bin Ma'dan r.a., Nabi saw. pernah melihat seorang sahabat shalat, sedangkan di punggung kakinya ada sebesar mata uang dirham yang tidak tersentuh air, maka Nabi menyuruhnya mengulangi wudhu' dan shalatnya." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 161 dan ‘Aunul Ma'bud 1: 296 no: 173).
Teks arabnya sudah pernah termuat dalam pembahasan syarat-syarat sahnya wudhu' (pent.) 
3    Makan dan Minum Dengan Sengaja:
Ibnu Mudzir berkata, "Para Ulama" telah sepakat, bahwa barangsiapa yang makan atau minum dengan sengaja dalam shalat fardhu, maka ia harus mengulanginya (Al-Ijma' hal 40) dan begitu pula dalam shalat tathawwu' menurut jumhur ulama', karena apa saja yang membatalkan shalat fardhu, juga membatalkan shalat sunah.
4.   Sengaja berbicara tanpa ada kemaslahatan yang berkaitan dengan shalat
Dari Zaid bin Arqam r.a., berkata, "Dahulu kami sering berbincang-bincang dalam shalat, seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan rekannya yang ada di sebelahnya dalam shalat, sehingga turunlah ayat, WA QUUMU LILLAAHI QAANITIIN (berdiri karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'), maka kemudian kami perintahkan untuk diam dan melarang untuk berbicara." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I:383 no: 539, Tirmidzi I:252 no: 4003, ‘Aunul Ma'bud III:227 no:936, Fathul Bari III:72 no:1200, Nasa'i III:18 dan untuk selain Nasa'i tidak ada kalimat, NUHIINA ‘ANIL KALAAM").
5.   Tertawa
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan, bahwa para ulama' telah sepakat bahwa shalat batal karena orang yang mengerjakan tertawa (al Ijma' hal. 40)
6.   Berlalunya perempuan yang sudah baligh, keledai, atau anjing hitam di hadapan orang yang sedang shalat (di antara tempat berdiri dan tempat sujudnya). Rasulullah bersabda saw., "Apabila seorang di antara kamu berdiri shalat, maka (seharusnya) ia meletakkan sutrah di hadapannya seperti kayu penyanggah penunggang unta. Maka dan itu, jika dihadapannya tidak ada sutrah seperti kayu tersebut, maka shalat bisa batal karena keledai, perempuan (yang sudah baligh) dan anjing hitam (yang lewat dihadapannya)." (Shahih: Shahihul Jami' no: 719, Muslim 1: 365 no: 510, Nasa'i II: 63, Timidzi I: 212 no: 337, ‘Aunul Ma'bud II: 394 no: 688).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 172 - 225.(Dicopy dari alislamu.com)